Hasil penelitian dari mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia menyebutkan, regulasi menjadi penyebab utama kemunduran radio komunitas di Tanah Air.
“Pada awal reformasi, eksistensi dan legalitas radio komunitas didukung oleh gerakan masyarakat sipil yang terdiri dari LSM, akademisi, dan praktisi radio komunitas bersama dengan politikus di DPR,” ujar Doktor Ilmu Komunikasi lulusan FISIP UI, Ressi Dwiana dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, 12 Januari 2021.
Namun, lanjut dia, pemerintah (eksekutif) sejak awal tidak ingin penyiaran komunitas diakui di dalam sistem penyiaran Indonesia. Meskipun pemerintah gagal menghalangi legalitas radio komunitas di dalam UU Penyiaran, tetapi pemerintah tetap konsisten pada sikapnya.
Hasil penelitian itu tertuang dalam penelitian disertasi Ressi Dwiana dengan judul “Kemunduran Radio Komunitas di Indonesia (Studi Ekonomi Politik tentang Relasi Kuasa dalam Pengaturan Penyiaran di Indonesia)”
Ressi memaparkan bahwa setelah pengakuan radio komunitas di dalam UU No.32/2002, pemerintah membuat aturan pelaksanaan berupa PP No. 51/2005 yang memberi batasan sangat ketat terhadap radio komunitas.
"Spirit demokratisasi yang ada di dalam UU Penyiaran tidak lagi menjiwai aturan-aturan pelaksanaannya," ucapnya.
Salah satu permasalahan yang timbul akibat pengaturan di dalam PP No. 51/2005 adalah masalah perizinan.
Berdasarkan PP 51/2005, perizinan radio komunitas harus diurus sampai di tingkat menteri dengan memenuhi beberapa persyaratan, termasuk badan hukum yang juga harus diurus hingga di tingkat menteri.
Selain prosedur, perizinan awal membutuhkan dana untuk membayar: biaya izin prinsip, biaya izin tetap, dan biaya perpanjangan izin tetap. Untuk mendapatkan izin penyiaran, radio komunitas harus memiliki perangkat bersertifikat.
Harga perangkat ini dapat mencapai empat kali lipat lebih mahal dari perangkat rakitan dengan kualitas lebih rendah.
Setelah beroperasi, stasiun radio harus membayar Izin Stasiun Radio (ISR), Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), PPh, dan BPJS TK (di beberapa wilayah). Masalah pembayaran ini menjadi penyebab utama pencabutan izin radio komunitas.
“Kesimpulan penelitian ini di antaranya adalah UU No. 32/2002 memuat aturan yang fleksibel tentang radio komunitas, dengan asumsi bahwa di dalam aturan pelaksanaannya (PP) dapat diturunkan secara lebih mendetail. Akan tetapi, PP No. 51/2005 justru memberikan aturan yang sangat menekan kehidupan radio komunitas,” tutunya.
Beberapa aturan yang ditentang oleh para pendukung radio komunitas, di antaranya keharusan berbadan hukum koperasi atau perkumpulan, batasan radius siaran 2,5 km, alokasi frekuensi diatur dengan Peraturan Menteri, dan perizinan dan perpanjangan izin disampaikan kepada Menteri dan diberikan oleh Menteri, KPI hanya sebagai perantara.
Selain tekanan regulasi, radio komunitas juga dipengaruhi oleh iklim eksternal. LSM yang pada masa awal reformasi menjadi salah satu pendukung utama radio komunitas tidak lagi fokus pada isu media komunitas.
LSM harus mengubah isu agar tetap relevan di tengah perkembangan teknologi media agar mendapat suntikan dana dari lembaga donor.
Radio komunitas ditinggalkan untuk berjuang sendiri. Dia menjelaskan keberadaan asosiasi radio, pada level tertentu dapat membantu mencarikan sponsor bagi radio komunitas.
"Akan tetapi. bantuan itu tidak bersifat permanen dan tidak dapat menjangkau seluruh radio anggota. Perjuangan revisi UU 32/2002 yang telah dilakukan sejak 2010, belum juga terlihat titik terang.," ucapnya.
Radio komunitas adalah stasiun siaran radio yang dimiliki, dikelola, diperuntukkan, diinisiatifkan dan didirikan oleh sebuah komunitas. Pelaksana penyiaran komunitas disebut sebagai lembaga penyiaran komunitas. Radio komunitas juga sering disebut sebagai radio sosial, radio pendidikan, atau radio alternatif. (Antara)
Post a Comment